Friday, February 06, 2009

Tokok Sufi (2): Ibn Athaillah al-Sakandari

Ibn ‘Athâillâh al-Sakandarî
May 1st, 2007 by classic dikutip dari http://islam-klasik.serambi.co.id/?p=14

Nama lengkapnya adalah Syekh Abû al-Fadhl Tâj al-Dîn Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm ibn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn ‘خsâ ibn al-Husain ‘Athâ’ Allâh al-Jizâmî—moga Allah meridainya.

Ia lahir di Iskandariah (Mesir) sehingga dijuluki al-Iskandarî—tapi juga populer dengan al-Sakandarî. Dalam fikih, ia menganut dan menguasai mazhab Mâlikî kendati beberapa pakar tarikh mengklaimnya sebagai penganut mazhab Syâfi‘î. Sedangkan dalam tasawuf, ia terkenal sebagai pengikut sekaligus tokoh tarekat al-Syâdzilî.

Ulama kelahiran tahun 648 H/1250 M ini hidup semasa dengan Ibn Taimîyah dan termasuk seorang alim yang berbeda pandangan dengan Ibn Taimîyah ketika melontarkan kritik-kritiknya terhadap banyak pemikiran dan praktik tasawuf—termasuk pandangan tasawuf Ibn al-‘Arabî.

Semenjak kecil dan secara bertahap, ia menuntut ilmu dari para syekhnya. Syekh yang paling banyak ia timba ilmunya adalah Abû al-‘Abbâs Ahmad ibn ‘Alî al-Anshârî al-Mursî (w. 686 H), murid dari Abû al-Hasan al-Syâdzilî—pendiri tarekat al-Syâdzilî. Kepuasannya pada tarekat ini dan syekhnya tersebut mendorongnya untuk mengarang Lathâ’if al-Minan fî Manâqib al-Syaikh Abû al-‘Abbâs wa Syaikhihi Abû al-Hasan.

Ia terbilang ulama yang produktif. Menurut catatan, tak kurang dari 20 karya ia karang—di bidang tasawuf, hadis, akidah, tafsir, nahwu dan usul fikih. Selain Lathâ’if al-Minan dan dua kitab yang diterjemahkan menjadi buku ini (Bahjat al-Nufûs—berjudul asli Tâj al-‘Arûs—dan Miftâh al-Falâh), ia juga menulis al-Hikam—yang disebut-sebut sebagai magnum opus-nya dan beberapa kali di-syarh), Al-Tanwîr fî Isqâth al-Tadbîr, ‘Unwân al-Taufîq fî آdâb al-Tharîq dan Al-Qaul al-Mujarrad fî al-Ism al-Mufrad—yang memberi tanggapan terhadap Ibn Taimîyah seputar persoalan kalimat tauhid.

Ibn ‘Athâ’ Allâh dikenal selaku sosok yang dikagumi dan bersih. Ia tampil menjadi panutan bagi mereka yang telah berkenan meniti jalan menuju Tuhan. Ia menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, imam bagi para juru nasihat, dan tokoh istimewa pada zamannya. Bakat kearifannya telah membuat Abû al-‘Abbâs berkata, “Demi Allah, anak muda ini takkan mati sampai ia menjadi seorang dai yang menyeru ke jalan Allah.”

Ibn ‘Athâ’ Allâh wafat pada 16 Jumâdâ al-آkhirah 709 H atau bertepatan dengan 21 November 1309 M saat masih mengabdi pada Madrasah al-Manshûrîyah. Jenazahnya disemayamkan di Qarâfah, Iskandariah