Tuesday, May 15, 2012

Syaikh Ali Jum'ah (Grand Mufti Azhar) tentang Thariqah:


(dikutip dari buku: Ibadah-ibadah diperselisihkan, Syaikh Ali Jum'ah, Duha Khazanah)

Apa hukumnya seorang muslim mengikuti tarekat shufi? Kenapa tarekat-tarekat ini banyak dan bermacam-macam? Jika tasawuf itu cuma zuhud, zikir, dan ‘suluk’ (perilaku) yang baik menuju kepada Allah, lalu kenapa seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan Al Quran dan Sunnah untuk mengenal etika-etika dan perilaku jiwa itu?


Tasawuf adalah metode pendidikan spritual dan perilaku yang membentuk seorang muslim hingga mencapai tingkat ihsan, yang didefinisikan oleh Nabi Saw, “Bahwa kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Maka, jika kamu tida melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”[1] Jadi, tasawuf adalah program pendidikan yang memokuskan perhatian kepada pembersihan jiwa manusia dari seluruh penyakit-penyakitnya yang menjauhkan manusia dari Allah Swt dan meluruskan penyimpangan-penyimpangan karakter dan perilaku dalam segala hal yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah, hubungan antarmanusia, dan dengan ego diri. Tarekat tasawuf adalah lembaga yang melaksanakan pembersihan jiwa dan pelurusan perilaku tersebut. Dan Syaikh adalah custodian atau ustadz yang bertugas melakukan hal itu besama penuntut atau murid.
Jiwa manusia pada tabiatnya merupakan tempat yang di dalamnya terhimpun sekumpulan penyakit-penyakit (ego) seperti sombong, ‘ujub (bangga diri/congkak), angkuh, egois, kikir, marah, riya’ (pamer), dorongan maksiat dan melanggar, hasrat memuaskan diri dan membalas dendam, benci, dengki, menipu, tamak, dan loba. Allah Swt berfirman dalam mengungkapkan perkataan istri al-Aziz (penguasa Mesir), “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf (12): 53). Oleh karena ini, orang-orang pertama dari para pendahulu kita bersikaf arif dan cerdas memandang pentingnya pendidikan karakter dan membersihkan pribadi dari penyakit-penyakit ego agar dapat berjalan selaras dengan masyarakat dan beruntung di dalam melangkah menuju kepada Tuhannya.
Tarekat tasawuf mesti dilengkapi dengan beberapa syarat, antara lain:
Pertama, berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah, karena tarekat tasawuf itu adalah metode Al Quran dan Sunnah. Setiap apa saja yang menyalahi Al Quran dan Sunnah, maka bukan bagian dari tarekat, bahkan tarekat sendiri menolak perkara itu dan melarangnya.
Kedua, tarekat tidak mempersiapkan ajaran-ajaran yang terpisah dari ajaran-ajaran syariat, tetapi justru intinya. Tasawuf mempunyai tiga fenomena pokok yang seluruhnya dilandaskan di atas ajaran Al Quran al-Karim, yaitu:

1. Memokuskan perhatian terhadap keadaan jiwa, mengawasinya, dan membersihkannya dari unsur tercela. 

Allah Swt berfirman,“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Al-Syams (91): 7 – 10).

2. Banyak berzikir dan mengingat Allah Swt Allah Swt berfirman,“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab (33): 41).
Nabi Saw bersabda, “Senantiasa basahkan Lidahmu dalam berzikir mengingat Allah.”[2]

3. Zuhud terhadap dunia dan tidak bergantung dengannya, dan cinta terhadap akhirat. Allah Swt berfirman, 
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka [kesenangan-kesenangan duniawi itu hanya sebentar dan tidak kekal]. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al-An’am (6): 32)

Adapun tentang syaikh yang mendiktekan pelajaran zikir-zikir kepada para murid; membantu mereka di dalam membersihkan karakter-karakter mereka dari sifat tercela dan menyembuhkan hati mereka dari penyakit-penyakit, maka dia adalah seorang ‘pelayan’ atau ustadz yang dapat melihat metode mana yang lebih sesuai dengan penyakit hati pada pribadi ini, atau kondisi tertentu itu, dengan murid, atau penuntut ini.

Merupakan sunnah Rasulullah Saw memberikan nasihat kepada setiap manusia tentang apa yang mendekatkan dirinya kepada Allah sesuai dengan kondisi dan konstruksi mental jiwa yang berbeda-beda. Seseorang datang kepada Beliau dan bertanya,
 “Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepadaku tentang perkara yang menjauhkan diriku dari kemarahan Allah.” Nabi Saw menjawab, “Jangan marah!”[3]

Seorang laki-laki yang lain lagi datang kepada Beliau Saw dan berkata,
“Sampaikanlah kepadaku tentang perkara yang aku jadikan pegangan.” Nabi Saw berkata kepadanya, “Senantiasalah basahkan lidahmu dalam berzikir kepada Allah.”[4]

Demikian juga, kehidupan para sahabat —semoga Allah meridhai mereka—. Di antara mereka ada yang memperbanyak shalat malam, ada yang memperbanyak membaca Al Quran, ada yang memperbanyak jihad, ada yang memperbanyak zikir, dan ada yang memperbanyak sedekah.
Ini semua tidak berarti meninggalkan urusan dunia sama sekali. Hanya saja ada ibadah tertentu, yang diperbanyak oleh orang yang menempuh jalan kepada Allah. Di atas fondasi dan dasar itu, kita juga menyaksikan pintu-pintu surga pun banyak dan beragam. Akan tetapi, pada akhirnya semua itu hanya tempat masuk yang banyak dan berbeda-beda, sedangkan surga itu sendiri satu. 

Nabi Saw bersabda, “Bagi setiap ahli (orang yang menekuni) suatu amal ada pintu dari pintu-pintu surga yang dinamakan dengan amal tersebut. Dan, bagi orang-orang yang berpuasa ada pintu yang mereka akan dipanggil dari sana. Pintu itu disebut al-Rayyan.”[5]

Demikian juga tarekat-tarekat menjadi banyak dan beragam pintu-pintu masuk dan metode-metode sesuai dengan syaikh dan muridnya sendiri. Di antara mereka ada yang lebih mengutamakan dan memperhatikan puasa, dan ada yang mengutamakan Al Quran lebih banyak dengan tanpa mengabaikan puasa. Dan begitulah seterusnya.
Keterangan yang telah dikemukakan di atas menjelaskan tentang tasawuf yang benar, tarekat yang shahih, dan syaikh yang konsisten dengan syariat dan Sunnah. Dan kita pun mengetahui faktor beragamnya tarekat karena beragamnya pola pendidikan dan terapi, serta berbeda-bedanya metode yang menyampaikan kepada tujuan. Namun, semuanya satu dalam tujuan, karena Allah Swt yang menjadi tujuan semuanya.
Tidak ketinggalan kami tekankan bahwa keterangan tersebut tidak sejalan dengan kebanyakan orang-orang yang mengklaim dirinya bertasawuf. Yaitu, mereka yang justru mengotori wajah tasawuf dari kelompok orang-orang yang tidak ada agama dan tidak memiliki kesalehan; orang-orang yang berjoget-joget pada acara-acara peringatan dan maulid-maulid dan mereka melakukan perbuatan orang-orang yang jadzab (hilang kesadaran) dan pelaku khurafat. Maka, ini semuanya bukan tasawuf dan sama sekali tidak termasuk tarekat-tarekat tasawuf. Sesungguhnya tasawuf yang kami ajak untuk mengikutinya tidak ada hubungannya dengan fenomena-fenomena negatif dan buruk yang dilihat oleh orang-orang. Dan, tidak boleh bagi kita untuk mengenal tasawuf dan memberikan kesimpulan terhadapnya dari sebagian orang-orang yang bodoh yang mengaku-ngaku bertasawuf. Akan tetapi, semestinya kita bertanya kepada para ulama yang memberikan pujian terhadap tasawuf, sehingga kita mengerti sebab pujian mereka terhadapnya.
Terakhir, kita memberikan jawaban kepada orang yang bertanya, “Kenapa kita tidak belajar saja etika-etika perilaku dan pembersihan jiwa itu dari Al Quran dan Sunnah secara langsung.” Ini adalah ungkapan yang lahirnya mengandung rahmat, sedangkan sisi batinnya dari orang yang melontarkannya mengandung siksa. Karena, sesungguhnya kita tidak mempelajari rukun-rukun shalat, perkara-perkara sunnatnya, dan perkara-perkara makruh di dalamnya dengan membaca Al Quran dan Sunnah. Akan tetapi, kita mempelajari semua itu dari bidang ilmu yang disebut ilmu fikih. Para ahli fikih telah mengarang buku-buku dan menyimpulkan seluruh hukum-hukum itu dari Al Quran dan Sunnah. Lalu bagaimana seandainya muncul di tengah-tengah kita orang yang mengatakan bahwa kita harus mempelajari fikih dan hukum-hukum agama dari Al Quran dan Sunnah secara langsung. Sedangkan, kamu tidak akan menjumpai seorang alim pun yang mempelajari fikih dari Al Quran dan Sunnah secara langsung.
Demikian juga, terdapat perkara-perkara yang tidak disebutkan di dalam Al Quran dan Sunnah. Perkara-perkara itu mesti dipelajari dari syaikh dan berlangsung secara verbal; tidak layak dengan mencukupkan diri padanya dengan Al Quran, seperti ilmu tajwid. Bahkan, di dalam perkara-perkara itu harus konsisten mengikuti istilah-istilah khusus dengan badannya. Misalnya mereka mengatakan, “Mad Lazim itu enam harakat.” Siapakah yang menjadikan mad itu sebagai Mad Lazim? Mereka adalah ulama-ulama bidang ini. Begitu juga, ilmu tasawuf adalah bidang ilmu yang diletakkan oleh para ulama tasawuf sejak era Junaid al-Baghdadi Ra dari abad ke-4 hingga masa kita sekarang.
 Manakala kehidupan zaman sudah rusak dan moral menjadi rusak, sebagian tarekat-tarekat tasawuf juga rusak, sehingga mereka bergantung dengan fenomena-fenomena yang bertentangan dengan agama Allah. Lalu orang-orang pun mengira bahwa inilah tasawuf. Allah Swt akan membela tasawuf dan para pengikutnya; Dia akan memelihara mereka dengan Kuasa-Nya. Allah Swt berfirman,    "Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (QS. Al-Hajj (22): 38)
Semoga apa yang telah kami kemukakan cukup menjadi penjelasan tentang makna tasawuf, tarekat, syaikh, dan sebab beragamnya tarekat. Demikian juga, tentang persoalan kenapa kita mempelajari perilaku dan pembersihan karakter dari bidang ilmu yang dinamakan tasawuf itu; kenapa kita mengambilnya dari para syaikh dan tidak secara langsung mengambilnya dari Al Quran dan Sunnah. Kita memohon kepada Allah Swt semoga berkenan membuka mata kita terhadap perkara-perkara agama kita. Dan Allah Swt Mahatinggi dan lebih mengetahui.



[1] HR. Ahmad, Musnad Ahmad, vol. I, hlm. 27; Bukhari, Shahih Bukhari, vol. I, hlm. 27; dan Muslim, Shahih Muslim, vol. I, hlm. 37.
[2] HR. Ahmad, Musnad Ahmad, vol. IV, hlm. 188; Turmudzi, Sunan Turmudzi, vol. V, hlm. 485; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, vol. II, hlm. 1246; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, vol. III, hlm. 96; dan Hakim, al-Mustadrak, vol. I, hlm. 672.
[3] HR. Bukhari, Shahih Bukhari, vol. V, hlm. 2267; dan Turmudzi, Sunan Turmudzi, vol. IV, hlm. 371.
[4] HR. Ahmad, Musnad Ahmad, vol. IV, hlm. 188; Turmudzi, Sunan Turmudzi, vol. V, hlm. 485; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, vol. II, hlm. 1246; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, vol. III, hlm. 96; dan Hakim, al-Mustadrak, vol. I, hlm. 672.
[5] HR. Ahmad, Musnad Ahmad, vol. II, hlm. 449; Bukhari, Shahih Bukhari, vol. II, hlm. 671; dan Muslim, Shahih Muslim, vol. II, hlm. 808. Teks hadis dari riwayat Imam Ahmad.