Sunday, February 26, 2012

Ini Era Sahibul Kahfi teman !

13. Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. 
14. Dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran." 
15. Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? (Al Kahfi)
16. Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu

Pada saat kita membaca surat Al Kahfi, maka imajinasi kita akan terbawa suatu kondisi dimana orang-orang yang hidup di masa itu adalah penyembah-penyembah berhala, suatu era yang tidak ada saat ini dan tidak pernah terbayangkan terjadi dalam kehidupan kita saat ini. Benarkah demikian? Saya sendiri melihat bahwa kehidupan saat ini sangat memenuhi syarat seperti apa yang terjadi pada masa sahibul kahfi. Hanya memang kondisinya sangat samar.

Siapakah tuhan-tuhan baru saat ini? Mereka adalah: aneka aliran sesat, agama-agama syirik, hawa nafsu, keserakahan, ketamakan, pemuasan keinginan, uang, kekuasaan, takut mati, takut miskin, bos-bos pemilik uang, bos-bos pemilik kekuasaan, sistem kerja, sistem pemerintahan, penghambaan atas nama kedisiplinan dan loyalitas, ahli-ahli agama yang mengikuti hawa nafsu. Perhatikan di pagi hari setiap orang berusaha melakukan aktivitas karena mengikuti sebuah sistem dimana mereka harus pergi bekerja, bersekolah, di jam yang sama? mereka terlihat sungguh-sungguh dan penuh didedikasi, dan ketakutan melebihi pengabdian mereka kepada Tuhan, mereka tidak bisa pergi dan pulang seenaknya, karena mereka diancam sangsi administratif. Apabila mendengar ajakan ibadah, maka ada kecenderungan menunda atau meninggalkan karena mereka beranggapan sangsinya belum tentu ada. Apakah mereka bukan orang Islam? Mereka adalah orang-orang Islam yang kerakusan sebagaimana orang-orang kafir bahkan lebih.

96. Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (Al Baqarah)

Apakah kita harus lari ke dalam gua-gua  secara harafiah? Tentu tidak, ditengah masyarakat yang membebaskan kita untuk beribadah, gua-gua itu bukanlah gua-gua di bukit atau gunung. Gua itu adalah tempat dimana kita bisa menghindari kerumunan orang-orang yang sibuk memperebutkan dunia, suatu tempat dimana kita banyak ritual pribadi. Keluar hanya untuk keperluan-keperluan wajib, seperti mencari nafkah, berbelanja dan segala kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib. Orang-orang yang berdalih mencari nafkah, menolong sesama, membawa kepada kemaslahatan yang lebih besar, melakukan perbaikan dan berbagai macam alasan,  dimana sesungguhnya terjadi adalah  mereka masuk kepada suatu jebakan mutakhir yang sesungguhnya dibuat dari jebakan lama, (harta, kekuasaan, kebanggaan diri/kesombongan) berubah menjadi serigala-serigala lapar yang siap memangsa. Perhatikan ustadz-ustadz yang masuk ke dalam parlemen, sebelumnya mereka diharapkan memberikan perbaikan kepada sistem parlemen kita, boro-boro memberikan perubahan yang terjadi adalah mereka (ustadz2) tersebut yang menjadi setan-setan baru, dan enggan untuk turun dari tampuk kekuasaan. Bila akan digantikan mereka akan berdalih bahwa partai butuh orang yang berpengalaman. Perhatikan orang-orang yang bersosialisasi dengan alasan silaturahmi, berapa banyak yang tersesat karena terlalu banyak organisasi dan forum silaturahmi, berapa banyak kebohongan dan fitnah yang keluar dari mulut agar bisa diterima oleh komunitas?, perzinahan, kholwat, menghambur2kan uang, menyia-nyiakan waktu dengan alasan silaturahmi, soasialisasi? Silaturahmi dianjurkan, namun semua mengenal batas. Silaturahmi dengan tetangga, kerabat, adalah hal-hal yang diutamakan, sedangkan kepada pihak-pihak di luar itu sudah tidak ditekankan lagi alias kalo memang punya waktu sisa.

Apa sungguhnya batas-batas kita telah terjebak?
1. Sering berada di luar rumah bersama orang lain dibanding dengan keluarga.
2. Mulai meninggalkan kewajiban.
3. Banyak sendagurau dibandingkan zikir.
4. Jarang silaturahmi dengan tetangga dan kerabat (yang lebih utama).
5. Sering menghamburkan uang untuk rekreasi, makan, bersantai bersama teman dibanding keluarga.

Apa beda perilaku sahibul kahfi dengan membiara/mengasingkan diri?

Sikap sahibul kahfi:
1. Didasari kepada ketakwaan dan mengharap ridho dari Allah.
2. Sikap penuh kerendahatian akan kemampuan diri yang tidak mampu menghadapi fitnah-fitnah dunia.
3. Suatu sikap defensif terhadap fitnah dunia.
4. Melaksanakan ketaatan dalam keramaian maupun saat sendiri.
5. Ikhlas dalam melaksanakan ketaatan, karena rasa takut kepada Allah.

Sikap membiara:
1. Dikotori sikap riya', cirinya: menonjolkan penampilan dan cara berpakaian.
2. Melanggar perintah agama tentang kewajiban mencari nafkah bagi kepala keluarga.
3. Seakan-akan taat, namun hatinya tersiksa, melaksanakan ketaatan yang terlihat manusia, bermaksiat saat sendiri.

Tanda-tanda Era Sahibul Kahfi:
1. Orang mengaku Islam, Iman membuat aturan sekaligus melanggarnya.
2. Orang banyak berbicara tentang orang lain, namun dirinya sendiri tidak diperbaiki.
3. Orang ahli maksiat menuduh orang lain melakukan maksiat (maling teriak maling).
4. Nasehat agama hanya sekedar hiburan, pelipur lara, menghilangkan stress, rekreasi.
5. Orang tidak sungguh-sungguh belajar agama sebagaimana belajar ilmu dunia.
6. Orang suka menasehati, namun dirinya sendiri tidakmelaksanakan.
7. Stress melihat kemaksiatan namun merasa perlu terus mendakwahi orang lain karena berpikir itu juga merupakan tanggung jawab dirinya. Sehingga dayanya habis, dan obyek dakwahnya tidak berubah sedikitpun, akhirnya menghancurkan diri sendiri, sebagaimana sifat lilin yang menyinar sekitarnya dengan cahaya rendah, sementara, akhirnya kembali gelap, dan lilinnya ikut musnah. Inilah yang banyak dihindari oleh para ulama besar.
8. Agama hanya bahan diskusi, meninggikan diri dan kelompok, mencela orang lain, namun minim pelaksanakan.
9. Puas dengan ilmu agama yang sedikit.
10. Beragama mengandalkan logika, metode barat, literatur. Meninggalkan kebiasaan ulama terdahulu, yang mengandalkan hafalan Quran, hafalan hadits, hafalan kitab, dan guru-guru yang sholeh.
11. Agama diperbincangkan,