Friday, June 04, 2010

1/2 bathil + 1/2 haq = bathil

Mungkin kita pernah mendengar jargon STMJ = Sholat terus Maksiat jalan. Sesungguhnya yang haq dan yang batil itu tidak bisa bercampur, meskipun tidak mutlak, namun tetap saja orang yang menganut jargon ini belum berada pada jalan yang lurus. Lho, bukannya setiap orang pasti berdosa dan berbuat dosa. Betul! Namun hakikatnya berbeda.

Yang pertama:
Orang yang berdosa/berbuat dosa kemudian menganggap dosa adalah hal yang wajar karena masih diimbangi dengan kebaikan.

Yang kedua:
Orang yang berdosa/berbuat dosa kemudian sadar bahwa itu adalah perbuatan dosa, dan segera memohonkan ampun dan meminta Allah agar melepaskan dirinya dari perbuatan dosa tersebut.

Hal kedualah yang harus ada dalam diri kaum muslimin.
18. Sebenarya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya). (Al Anbiyaa’)
Hawa nafsu adalah tempat yang subur bagi syetan untuk menebarkan benih-benih kesesatan. Kemaksiatan dan kesesatan yang ditanamkan ini hanya bisa dikalahkan dengan mengurangi kebutuhannya, yaitu melampiaskan syahwat. Saat syahwat tidak diakomodasi maka hawa nafsu akan mengering dan lemah. Saat kondisi ini cahaya illahi dapat menembus kalbu. Syahwat yang dituruti menyebabkan berkembangnya segala jenis kemaksiatan, ibarat hutan rimba yang tidak dapat tertembus sinar matahari.
Syetan beraksi dengan penipuan model terbaru yang samar. Tidak lagi menggunakan cara-cara lama yang kasar. Syetan mencampuradukkan yang haq dan yang batil sehingga produknya tetap satu yaitu kebatilan.
71. Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya? (Ali Imran)
Dalam hal ini jelas bahwa ahli kitab mengetahui yang haq namun menyampurkannya dengan yang bathil sehingga hasilnya adalah kebathilan. Jadi apabila kita mendengar slogan, sholat jalan, maksiat jalan, dengan harapan akan seimbang hitungan pahala dan dosanya, maka sesungguhnya jalan ini adalah jalan yang bathil, maksiat, dan sesat. Meskipun benar bahwa ada pahala dalam setiap kebaikan yang dijalankan. Namun pemahaman ini berhenti hanya pada tataran jual-beli (baca tulisan sebelum ini).
Di dalam Islam, pengabdian itu ditujukan kepada Allah, dengan cara Allah, dan dalam proses yang terus-menerus. Setiap kebaikan akan berimplikasi kepada kebaikan yang lebih luas, sebagaimana domino efek. Menjalankan ketaataan dengan berharap hanya dihitung ‘satu pahala’ adalah pikiran yang sangat naif. Dalam proses keimanan memang ada naik turun, namun demikian dibalik kebaikan dan ketaatan ada yang disebutkan sebagai Ridho Ilahi, dimana saat Allah ridho pada perbuatan hamba maka tidak hanya pahala yang didapat bahkan dilipatkan, namun yang lebih utama merasakan kedekatan dengan Allah yang menenggelamkan kita dalam laut makrifat (mengenal Allah)

Sifat dan akhlak Rasulullah

Beliau adalah orang yang lembut, murh hati, mampu menguasai diri, suka memaafkan saat memegang kekuasaan dan sabar saat ditekan. Aisyah berkata,"Jika Rasulullah Saw harus memilih di antara dua perkara, tentu beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya, selagi itu bukan suatu dosa. Jika suatu dosa, maka beliau adalah orang yagn paling menjauh darinya. Beliau tidak membalas untuk dirinya kecuali jika ada pelanggaran terhadap kehormatan Allah, lalu dia membalas karena Allah. Beliau adalah orang yang paling tidak mudah marah dan paling cepat ridha. Beliau murah hati dan dermawan, dan selalu memberikan apapun dan tidak takut menjadi miskin.

Ibnu Abbas berkata,"Nabi Saw adalah orang yang paling murah hati. Kemurahan hati beliau yang paling nampak yaitu pada bulan Ramadhan saat didatangi Jibril. Jibril menghampiri beliau setiap malam apada bulan Ramadhan, untuk mengajarkan Al Quran kepada beliau. Beliau benar-benar orang yang sangat murah hati dalam memberikan hal-hal yang baik atau beramal daripada angin yang berhembus."

Nabi Saw adalah orang yang pemalu dan suka menundukkan mata. Abu Sa'id Al-Khudry berkata," Beliau Saw adalah orang yang lebih pemalu daripada gadis di tempat pengitannya. Jika tidak menyukai sessuatu, maka bisa diketahui dari raut mukanya." Belaiau tidak pernah lama memandang ke wajah seseorang, menundukkan pandangan, lebih banyak memandang ke arah tanah daripada memandnag ke arah langit, pandangannya jeli, tidak mempermalukan seseorang.

Nabi Saw adalah orang yang paling adil, paling mampu menahan diri, paling jujur perkataannya dan paling besar amanatnya. Beliau tidak menginginkan orang yang sedang duduk untuk berdiri menyambutnya, seperti yang dilakukan para raja, beliau terbiasa menjenguk orang sakit, duduk-duduk bersama orang-orang miskin, memenuhi undangan hamba sahaya, duduk di tengah para sahabat, sama seperti keadaan mereka. Aisyah ra berkata," Beliau biasa menambal sepatunya, menjahit bajunya, melakukan pekerjaan dengan tanan sendiri, seperti dilakukan salah seorang di antara kalian di dalam rumahnya. Beliau sama dengan orang lain, mencuci pakaiannya, memerah air susu dombanya, dan membereskan urusannya sendiri.

Beliau adalah orang yang paling berusaha untuk memenuhi janji, menyambung tali persaudaraan, paling menyayangi dan bersikap lemah lembut terhadap orang lain, paling bagus pergaulannya, paling lurus akhlaknya, jauh dari keburukan, tidak pernah berbuat keji atau menganjurkan kekejian, tidak suka mengumpat, tidak membalas keburukan dengan tindakan serupa tetapi membiarkannya dengan ikhlas. (Shirah Nabawiyah)

Thursday, June 03, 2010

Semua Ketaataan Harus Menuju Allah

Masih banyak diantara kita yang kebingungan dalam ketaatannya. Bagaimana menempatkan ketaatan? bagaimana menempatkan ibadah?

1. Ada yang ketaataannya berhenti sebatas jual-beli kepada Allah.

Berdasarkan firman Allah:

111. Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (At Taubah)

Tidak ada yang salah dengan jual beli dalam ketaatan yang didasarkan keimanan kepada Allah, namun harus diketahui oleh kaum muslimin ada usaha yang lebih tinggi daripada itu semua yaitu MENDEKAT KEPADA ALLAH. Pada saat ketaatan kita berhenti hanya pada melakukan kebaikan, ibadah dan ketaatan semata-mata hanya untuk selamat dari neraka dan masuk ke dalam surga, maka sangat merugilah posisi ini, meskipun telah berjalan di jalan yang lurus, maka ada posisi yang lebih tinggi dari itu yaitudekat/mendekati Allah....

35. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Al Maidah)

99. Di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan memasukan mereka kedalam rahmat (surga)Nya; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At Taubah)


11. Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. (Al Waqi'ah)

88. adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah),
(Al Waqi'ah)


28. (yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah.
(Al Muthaffifin)


Sesungguhnya banyak ayat lagi, yang menyuruh kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena ada nilai spiritual yang tidak terbayangkan saat seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah. Tidakkah kita ingin mencapai derajat berikut ini:

Dalam sebuah hadits qudsi riwayat 'Aisyah dan Anas ibn Malik ra, Allah Swt berfirman:

"Siapa saja yang menyakiti wali-waliKu, berarti dia telah menyatakan perang kepadaKu. Setiap kali hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan hanya melaksanakan amalan wajib ditambah dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Ketika Aku sudah mencintainya, maka Aku akan menjadi matanya yagn dia gunakan untuk melihat, telinganya yang dia gunakan untuk mendengar, tangannya yang dia gunakan untuk menggenggam, akakinya yang dia gunakan untuk berjalan, hatinya yang dia gunakan untuk berpikir, lidahnya yang dia gunakan untuk berbicara. Jika dia bedoa kepadaKu, Aku mengabulkannya. Jika dia meminta kepadaKu, Aku memberikannya, Aku tidak pernah bingung terhadap sesuatu, karena Aku sendiri yang menciptakan kebingungan itu melalui kematiannya. Oleh karen itu, diaakan dipaksa oleh kematian dan Aku tidak menyukai kematiannya yang buruk
(H.R Bukhari)

Orang yang dekat/mendekati Allah adalah orang-orang yang menjadikan sarana ketaatan dan ibadah untuk mendekat. Sebaliknya lalai dan meninggalkan ibadah berarti menjauh. Konsep seperti ini menyebabkan orang-orang yang mendekatkan diri cenderung akan terus mendekatkan diri karena ada 'RASA' luar biasa yang tidak dia dapatkan selain dari ibadah. 'Rasa' inilah yang terus dikejar sehingga tampak luarnya membuat dia menjadi seorang yang taat. Orang-orang yang mengejar 'rasa' kedekatan kepada Allah ini sungguh tidak terlalu disibukkan dengan urusan surga neraka. Takaburkah? Bukan sama sekali, 'rasa' dekat dan nikmat ibadahlah yang membuat mereka lupa memikirkan surga neraka apalagi urusan dunia. Seakan dunia dan perhiasannya menjadi hilang, karena cahaya Allah melingkupi. Orang-orang ini bukan berarti tidak takut neraka atau tidak berharap surga, tidak sama sekali. Mereka masih termasuk orang yang takut kepada hal tersebut, namun karena terlalu nikmatnya mendekat kepada Allah membuat mereka menjadi orang yang lupa akan urusan2 dunia, bahkan surga dan neraka. Apakah orang-orang yang mengejar 'rasa' ini menganjurkan meninggalkan ibadah? Sebaliknya, 'rasa kedekatan' dengan Allah hanya bisa diraih melalui ibadah yang ketat. Karena tidak ada cara lain untuk mendekat selain menunaikan kewajiban, meninggalkan larangan, amar ma'ruf, nahi mungkar secara totalitas...

2. Ada yang ketaataannya diabdikan hanya pada Islam itu sendiri, tapi lupa memperbaiki diri. Penyakit ini banyak dialami oleh kaum muslimin yang terjun ke dunia politik dan dakwah. Politik dan dakwah dipandang sebagai suatu kewajiban yang merupakan rintangan yang harus dilewati oleh kaum muslimin. Mereka hanya sibuk dengan strategi dan analisis dakwah, namun mereka lupa memperbaiki diri. Karena sesungguhnya para ulama yang lurus lebih banyak usaha memperbaiki diri terlebih dahulu, hingga datang waktu dimana Allah 'memaksa' mereka untuk berdakwah.