Ulama-Ulama Tanah Air & Ulama Karbitan
Ulama adalah orang-orang memiliki ilmu agama dan konsisten menjalankannya. Ulama berbeda dengan da'i, mubaligh, ustadz atau penceramah. Ulama-ulama adalah merangkum semua profesi tersebut ditambah dengan pelaksanaannya yang istiqamah. Para ulama mempelajari suatu ilmu kepada seorang guru hingga ia menuntaskannya. Misalnya dalam menghafal Al Quran maka ulama tersebut akan berguru hingga ia tuntas menghafalkan al Quran. Seorang guru bisa jadi memberikan beberapa pelajaran namun bisa juga hanya satu saja. Sistem pengajaran ini yang diwariskan turun-temurun dari Nabi Saw sehingga ilmu tersebut memiliki sanad yang shahih. Ulama sejati tidak belajar dari kitab lepas tak bertuan, seandainya mempelajari kitab, maka juga harus dari ulama yang memiliki riwayat mempelajari kitab tersebut. Ulama-ulama klasik ini sangat mengandalkan hafalan, dan saat hafalan ini dituangkan dalam tulisan maka isinya merupakan rangkaian dari tafsir, terjemah Quran/Hadits dari ulama terdahulu, bukan dari hasil pemikirannya. Mereka biasanya hanya merangkum pokok2 pikiran untuk tema tertentu berdasarkan pendapat ulama terdahulu. Ulama sejati selalu mudah ditelusuri sanad ilmunya, sebaliknya ulama karbitan berusaha menghilangkan sanad, karena merasa melakukan 'revisi' terhadap pendahulunya, bangga dengan 'revisi' tersebut dan merasa lebih baik dari gurunya. Ulama sejati selalu merasa lebih rendah dari gurunya, guru dari gurunya, guru dari guru-gurunya dan seterusnya hingga Rasulullah Saw.
Beda dulu beda sekarang, saat ini banyak orang-orang yang mengaku dan diaku sebagai ulama, namun sesungguhnya jauh dari syarat-syarat di atas. Orang-orang tersebut biasanya lulus dari sekolah-sekolah agama dimana batas belajar ditentukan dari ujian semester. Tidak ada beban untuk menuntaskan pelajaran kepada seorang guru, melainkan dari apa yang telah ditentukan oleh kurikulum. Mereka bisa jadi memiliki wawasan yang luas, namun mereka jarang menghafalkan dan tidak mempedulikan sanad ilmu yang turun kepadanya. Karena merasa ah..masalah ini ada di kitab ini, ini, ini. Dari sinilah munculnya kelompok pemikir yang sudah berani memberikan penilaia-penilaian terhadap masalah-masalah agama, hanya karena merasa memiliki wawasan yang cukup untuk memberikan komentar dalam masalah2 kontemporer. Jadi apabila seorang mengaku atau diaku sebagai ulama, maka cukup mudah meneliti kebenarannya, pertama tanyakan kepada siapa beliau berguru, ilmu apa yang dipelajari kepada guru tersebut, dan siapa saja muridnya, kemudian 2 atau 3 tingkat di atas pasti ulama-ulama yang disebutkan mudah dikenali. Apa mungkin mereka berbohong, mungkin! 'ulama' tadi mudah ditelisik dari cara berbicara dan berperilaku: kasar, zalim, bohong, tidak sesuai antara perkataan dan perbuatannya, hati bukan menjadi tenang tapi keruh dan hobi melihat kesalahan orang lain.Apabila bertemu 'ulama' seperti ini maka tinggalkan, karena sama sekali tidak memenuhi kriteria ulama. Apabila kita sering membaca Sejarah Nabi Saw, maka ulama-ulama sholih akan membawa 'cahaya' baginda Nabi Saw, dan qalbu kita bisa merasakan pancaran kesolehan, ketawadhuan.
Hal ini juga terjadi di Indonesia. Kyai-kyai sepuh nusantara memiliki riwayat belajar kepada guru-guru di Mekah-Medinah. Mereka kembali ke Indonesia dan mulai mendirikan pesantren dan menyebarkan Islam ke seluruh pelosok nusantara. Mereka-mereka inilah yang meletakkan fondasi perkembangan Islam di Nusantara, sehingga menghasilkan jumlah yang luarbiasa saat ini (200 juta) jauh melebihi negara-negara lain bahkan dari total semua negara-negara timur tengah. Ulama-ulama ini sangat menekankan aspek ibadah/kewajiban diri, pembersihan diri, penguasaan ilmu hingga tuntas dan tidak perlu pusing dengan bagaimana harus berdakwah/strategi berdakwah, karena mereka akan dengan sendirinya akan diminta oleh lingkungannya, diperintahkan oleh gurunya.
Ulama-ulama karbitan datang kemudian, ulama karbitan ini adalah produk orang-orang yang mempelajari Islam secara otodidak, banyak membaca terjemahan, tulisan, kitab-kitab tanpa guru, menganalisa, berpikir, kemudian memberikan komentar terhadap berbagai masalah tidak peduli sudah ada pendapat yang mapan dari ulama terdahulu. Ulama karbitan saat datang ke wilayah nusantara melihat ladang yang sudah tumbuh, mereka melihat sebagai sasaran empuk transfer pemikiran mereka. Mereka melihat bahwa ladang yang tumbuh tadi adalah ladang liar tak bertuan, yang melakukan bid'ah dan kesesatan, dan mentasbihkan diri sebagai 'Pembaharu-pembaharu' namun sesungguhnya ladang-ladang itu hasil persemaian para ulama terdahulu. Ulama karbitan ini hasil dari pergerakan2 Islam yang timbul semasa revolusi di masing-masing negara: Wahabi hasil pergolakan di Jazirah Arab, Ikhwanul Muslim hasil pergolakan di Mesir, Hizbut Tahrir di Palestina, Jamaah Tabliq dari India dst..dst...Kelompok2 ini membawa pemikiran khas daerah mereka, karena memang kebutuhan di wilayah tersebut, namun kemudian sebagian mereka salah memaknai arti perjuangan sehingga timbul pemikiran bahwa kelompok merekalah yang paling benar, sehingga perlu menyebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Meskipun hal ini tidak berlaku untuk semuanya namun, demikianlah yang terjadi di masyarakat Indonesia. Peci dan sarung digantikan oleh baju gamis, koko, baju taqwa dan seterusnya. Mewajibkan memakai jenggot dan wewangian, mengangkat celana di atas mata kaki, dst. Ulama-ulama kelompok2 ini biasanya ulama-ulama sektarian, yang sangat fanatik dengan guru dari kelompok mereka sendiri dan menjauh ulama di luar kelompok. Mereka memberikan label-label kepada kelompok-kelompok Islam lain, saling mencela satu sama lain dan selalu bangga dengan kelompoknya. Karena kebutuhan pasar meningkat, maka kualitas penyebar ajaran tidak lagi menjadi prioritas. Yang penting fanatik, berani, semangat, terhadap garis-garis besar aturan kelompok maka sudah cukup untuk menjadi 'ulama-ulama' baru. Meskipun pada awalnya memiliki niat yang lurus, tapi karena dilakukan terlalu bersemangat, terburu-buru, akhirnya dikuasai hawa nafsu, maka hasilnya seperti kita lihat, perangai keras cenderung kasar, terburu-buru, mudah dijebak dengan godaan nafsu level rendah, mudah terimbas oleh dunia.
Inilah yang kita saksikan hari ini, dimana penyeru-penyeru agama adalah orang-orang yang memiliki kualitas rendah dan hanya berfokus pada pemuliaan diri dan kelompok, mengutamakan kemasyhuran, aksesoris duniawi, banyak bicara dan tampil di muka umum, merasa ahli surga, dan tidak ada beban menambah ilmu. Jangan tanyakan hafalan Qurannya, karena mereka hanya mengambil sesuai yang dibutuhkan, demikian pula ilmu hadits, jangan tanyakan sanadnya, karena mereka mendapatkannya dari kitab-kitab kumpulan hadits. Mengikuti ulama-ulama karbitan ini hanya membuat hati keruh, karena yang dikejar adalah hasil, bukannya bagaimana menjadi seorang hamba yang taat. wallahualam