Jadi Hamba yang Tahu Diri
Seorang ulama berkata, kalau kita menjadi hamba jadilah hamba/abdi/budak yang tahu diri. Saat keimanan dan keislaman sudah cukup menghunjam ke dalam kalbu, maka sudah saatnya menjadi hamba sejati. Bagaimana hamba sejati itu? Seumpama kita bekerja kepada seorang tuan, maka sangat tidak sopan apabila kita sibuk bertanya saya dapat apa dari ini? dapat apa dari ini? kapan dibayarnya? Bukankah itu adalah hamba yang kurang ajar?
Boleh seorang yang baru mempelajari Islam menanyakan pahala yang ia dapat saat melakukan ibadah, namun semakin bertambah usia keimanan kita hendaknya berhenti melakukannya. Datang dari ketiadaan kemudian diadakan, diberi pengetahuan dan keimanan kepada Rabb, masih juga berani berhitung untung rugi.Pengetahuan yang tidak segera diamalkan akan menghasilkan 'tulul amal' (berhayal tentang kebaikan) yaitu suatu bentuk kebanggaan kepada amal yang sedikit, dan merasa cukup/sombong dengan yang sedikit itu.
Sang ulama melanjutkan, maka kerjakanlah amalan (pekerjaan yang diperintahkan) oleh 'sang tuan' yang melimpah ruah di seluruh penjuru dunia ini, hidangan itu tidak enak menurut hawa nafsu, namun itu adalah hidangan terlezat dan terbaik yang diberikan oleh 'sang tuan' tak pernah habis hingga hari kiamat. Sholat, baca Quran, dzikir, doa, taubat, dst..dst...mudah, murah, tanpa modal, adalah termasuk 'pekerjaan' seorang budak yang sadar diri. Sebaliknya jangan mencoba-coba kurang ajar dengan melakukan hal-hal yang dilarang dan dimurkai 'sang tuan'.
Beranjaklah dari 'hitung-hitungan' dengan 'sang tuan'. Kerjakanlah dengan penuh takzim, ketaatan, tunduk, tanpa menanyakan 'upah', biarlah 'sang tuan' yang menilai kerja kita dan memberi upah sekehendakNya. Karena semestinya kita tahu diri, di'adakan' dari ketiadaan, diberi nikmat. Jangan coba-coba bertingkah kurang ajar dengan melakukan sesuatu karena semata-mata imbalan bahkan menagihnya, saat keimanan sudah terhunjam dan juklak keislaman sudah dipelajari.
Seorang da'i hendaknya juga tidak memfokuskan pada pahala, manfaat, suatu ibadah secara khusus, karena nilai ibadah itu semuanya sama, yaitu pengabdian, berkhidmat sesuai kelapangan masing-masing. Kekhawatiran pada pengkhususan amalan, bagai pisau bermata dua, bisa membuat orang membeda-bedakan ibadah. wallahualam
ok
ReplyDelete