Thursday, January 28, 2010

Tawasul Amal

Kisah tiga orang yang terjebak di dalam gua dan meminta pertolongan kepada Allah untuk dibebaskan, sudah dikenal dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim. Kisah ini menjadi landasan dibolehkannya menyebutkan amal kebaikan di masa lampau untuk meminta pertolongan saat ini. Istilahnya meminta pertolongan instan.

Salah seorang ustadz mempopulerkan tawasul amal ini dengan hitungan matematis yang beliau peroleh dari Al-Quran. Pada dasarnya mengerjakan sesuatu kebaikan yg masih dilandasi permohonan kepada Allah masih diperbolehkan.

Saya pribadi tidak menjadikannya terlalu masalah, karena setiap orang memiliki tingkatan pemahaman yang berbeda-beda tentang agama. Tapi ada sedikit kekhawatiran tentang tawasul amal ini.

1.Allah menuntut transaksi.Terkesan bahwa kita tidak yakin pertolongan Allah hanya dengan doa. sehingga ada kesan Allah akan menolong saat kita menyebut amal atau melakukan amal kebaikan; semacam transaksi. Kita perlu ingat, bahwa kita diberi hidup gratis, tumbuh gratis, napas gratis, semua kenikmatan yang kita rasakan karena panca indra dan tubuh yang sehat adalah karunia yang tidak akan terbayar oleh transaksi ibadah macam apapun. Musibah adalah ketetapan Allah di muka bumi yang menimpa semua makhluknya, maka kita tinggal mempersiapkannya saja. Para Nabi yang mulia juga mengalami masa-masa sulit. Mereka mencontohkan bahwa hanya cukup dengan berdoa yang sungguh-sungguh kita akan mendapatkan pertolongan, tanpa transaksi amal. Sehingga contoh dalam haditspun adalah 3 orang yang tidak dikenal, menunjukkan bahwa hal tersebut boleh namun bukan amalan para Nabi.

Nabi Muhammad SAW malahan menjadikan ibadahnya sebagai wujud dari syukur. Saat ditanya oleh Aisyah RA, mengapa beliau masih banyak beribadah sedangkan beliau SAW sudah diampuni, maka beliau mejawab: apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur.

2. Pembelokkan akidah. orang yang sering mendapat cobaan akan segera beramal, tanpa ingat lagi proses, bahwa musibah datangnya dari Allah untuk melatih kesabaran, keikhlasan, dan keteguhan kita. Sehingga mereka berpikir untuk segera beramal untuk menghindari bala. pokoknya beramal untuk hidup sesuai jalan pikirannya. Akhirnya orang seperti ini dapat memahami Allah dari segi jual-beli. Dan yang paling ditakutkan menuhankan amalan tersebut. Bukan lagi Allah yang menolong, tapi amalan yang menolong dia. wallahualam

Tuesday, January 26, 2010

Ibadah yang Dihempaskan

Ibnu Mubarak bercerita bahwa Khalid bin Ma’dan berkata kepada Mu’adz, “Mohon Tuan ceritakan hadits Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam yang Tuan hafal dan yang Tuan anggap paling berkesan. Hadits manakah menurut Tuan?
Jawab Mu’adz, “Baiklah, akan kuceritakan.”
Selanjutnya, sebelum bercerita, beliau pun menangis. Beliau berkata, “Hmm, Betapa rindunya diriku pada Rasulullah, ingin rasanya diriku segera bertemu dengan beliau.”
Kata beliau selanjutnya, “Tatkala aku menghadap Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menunggang unta dan menyuruhku agar naik di belakang beliau. Kemudian berangkatlah kami dengan berkendaraan unta itu. Selanjutnya beliau menengadah ke langit dan bersabda:
Puji syukur ke hadirat Allah Yang Berkehendak atas makhluk-Nya, ya Mu’adz!
Jawabku, “Ya Sayyidi l-Mursalin”
Beliau kemudian berkata, ‘Sekarang aku akan mengisahkan satu cerita kepadamu. Apabila engkau menghafalnya, cerita itu akan sangat berguna bagimu. Tetapi jika kau menganggapnya remeh, maka kelak di hadapan Allah, engkau pun tidak akan mempunyai hujjah (argumen).
Hai Mu’adz! Sebelum menciptakan langit dan bumi, Allah telah menciptakan tujuh malaikat. Pada setiap langit terdapat seorang malaikat penjaga pintunya. Setiap pintu langit dijaga oleh seorang malaikat, menurut derajat pintu itu dan keagungannya.
Dengan demikian, malaikat pula-lah yang memelihara amal si hamba. Suatu saat sang Malaikat pencatat membawa amalan sang hamba ke langit dengan kemilau cahaya bak matahari.
Sesampainya pada langit tingkat pertama, malaikat Hafadzah memuji amalan-amalan itu. Tetapi setibanya pada pintu langit pertama, malaikat penjaga berkata kepada malaikat Hafadzah:
“Tamparkan amal ini ke muka pemiliknya. Aku adalah penjaga orang-orang yang suka mengumpat. Aku diperintahkan agar menolak amalan orang yang suka mengumpat. Aku tidak mengizinkan ia melewatiku untuk mencapai langit berikutnya!”
Keesokan harinya, kembali malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amal shaleh yang berkilau, yang menurut malaikat Hafadzah sangat banyak dan terpuji.
Sesampainya di langit kedua (ia lolos dari langit pertama, sebab pemiliknya bukan pengumpat), penjaga langit kedua berkata, “Berhenti, dan tamparkan amalan itu ke muka pemiliknya. Sebab ia beramal dengan mengharap dunia. Allah memerintahkan aku agar amalan ini tidak sampai ke langit berikutnya.”
Maka para malaikat pun melaknat orang itu.
Di hari berikutnya, kembali malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amalan seorang hamba yang sangat memuaskan, penuh sedekah, puasa, dan berbagai kebaikan, yang oleh malaikat Hafadzah dianggap sangat mulia dan terpuji. Sesampainya di langit ketiga, malaikat penjaga berkata:
“Berhenti! Tamparkan amal itu ke wajah pemiliknya. Aku malaikat penjaga kibr (sombong). Allah memerintahkanku agar amalan semacam ini tidak pintuku dan tidak sampai pada langit berikutnya. Itu karena salahnya sendiri, ia takabbur di dalam majlis.”
Singkat kata, malaikat Hafadzah pun naik ke langit membawa amal hamba lainnya. Amalan itu bersifat bak bintang kejora, mengeluarkan suara gemuruh, penuh dengan tasbih, puasa, shalat, ibadah haji, dan umrah. Sesampainya pada langit keempat, malaikat penjaga langit berkata:
“Berhenti! Popokkan amal itu ke wajah pemiliknya. Aku adalah malaikat penjaga ‘ujub (rasa bangga terhadap kehebatan diri sendiri) . Allah memerintahkanku agar amal ini tidak melewatiku. Sebab amalnya selalu disertai ‘ujub.”
Kembali malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amal hamba yang lain. Amalan itu sangat baik dan mulia, jihad, ibadah haji, ibadah umrah, sehingga berkilauan bak matahari. Sesampainya pada langit kelima, malaikat penjaga mengatakan:
“Aku malaikat penjaga sifat hasud(dengki). Meskipun amalannya bagus, tetapi ia suka hasud kepada orang lain yang mendapat kenikmatan Allah swt. Berarti ia membenci yang meridhai, yakni Allah. Aku diperintahkan Allah agar amalan semacam ini tidak melewati pintuku.”
Lagi, malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amal seorang hamba. Ia membawa amalan berupa wudhu’ yang sempurna, shalat yang banyak, puasa, haji, dan umrah. Sesampai di langit keenam, malaikat penjaga berkata:
“Aku malaikat penjaga rahmat. Amal yang kelihatan bagus ini tamparkan ke mukanya. Selama hidup ia tidak pernah mengasihani orang lain, bahkan apabila ada orang ditimpa musibah ia merasa senang. Aku diperintahkan Allah agar amal ini tidak melewatiku, dan agar tidak sampai ke langit berikutnya.”
Kembali malaikat Hafadzah naik ke langit. Dan kali ini adalah langit ke tujuh. Ia membawa amalan yang tak kalah baik dari yang lalu. Seperti sedekah, puasa, shalat, jihad, dan wara’. Suaranya pun menggeledek bagaikan petir menyambar-nyambar, cahayanya bak kilat. Tetapi sesampai pada langit ke tujuh, malaikat penjaga berkata:
“Aku malaikat penjaga sum’at (sifat ingin terkenal). Sesungguhnya pemilik amal ini menginginkan ketenaran dalam setiap perkumpulan, menginginkan derajat tinggi di kala berkumpul dengan kawan sebaya, ingin mendapatkan pengaruh dari para pemimpin. Aku diperintahkan Allah agar amal ini tidak melewatiku dan sampai kepada yang lain. Sebab ibadah yang tidak karena Allah adalah riya. Allah tidak menerima ibadah orang-orang yang riya.”
Kemudian malaikat Hafadzah naik lagi ke langit membawa amal dan ibadah seorang hamba berupa shalat, puasa, haji, umrah, ahlak mulia, pendiam, suka berdzikir kepada Allah. Dengan diiringi para malaikat, malaikat Hafadzah sampai ke langit ketujuh hingga menembus hijab-hijab (tabir) dan sampailah di hadapan Allah. Para malaikat itu berdiri di hadapan Allah. Semua malaikat menyaksikan amal ibadah itu shahih, dan diikhlaskan karena Allah.
Kemudian Allah berfirman:
“Hai Hafadzah, malaikat pencatat amal hamba-Ku, Aku-lah Yang Mengetahui isi hatinya. Ia beramal bukan untuk Aku, tatapi diperuntukkan bagi selain Aku, bukan diniatkan dan diikhlaskan untuk- Ku. Aku lebih mengetahui daripada kalian. Aku laknat mereka yang telah menipu orang lain dan juga menipu kalian (para malaikat Hafadzah). Tetapi Aku tidak tertipu olehnya. Aku-lah Yang Maha Mengetahui hal-hal gaib. Aku mengetahui segala isi hatinya, dan yang samar tidaklah samar bagi-Ku. Setiap yang tersembunyi tidaklah tersembunyi bagi-Ku. Pengetahuan-Ku atas segala sesuatu yang telah terjadi sama dengan pengetahuan-Ku atas segala sesuatu yang belum terjadi. Pengetahuan-Ku atas segala sesuatu yang telah lewat sama dengan yang akan datang. Pengetahuan-Ku atas segala yang telah lewat sama dengan yang akan datang.
Pengetahuan-Ku atas orang-orang terdahulu sama dengan pengetahuan-Ku atas orang-orang kemudian.
Aku lebih mengetahui atas sesuatu yang samar dan rahasia. Bagaimana hamba-Ku dapat menipu dengan amalnya. Mereka mungkin dapat menipu sesama makhluk, tetapi Aku Yang Mengetahui hal-hal yang gaib. Aku tetap melaknatnya…!”
Tujuh malaikat di antara tiga ribu malaikat berkata, “Ya Tuhan, dengan demikian tetaplah laknat-Mu dan laknat kami atas mereka.”
Kemudian semua yang berada di langit mengucapkan, “Tetaplah laknat Allah kepadanya, dan laknatnya orang-orang yang melaknat.”‘
Sayyidina Mu’adz kemudian menangis tersedu-sedu. Selanjutnya berkata, “Ya Rasulallah, bagaimana aku bisa selamat dari semua yang baru engkau ceritakan itu?”
Jawab Rasulullah, “Hai Mu’adz, ikutilah Nabimu dalam masalah keyakinan.”
Tanyaku (Mu’adz), “Engkau adalah Rasulullah, sedang aku hanyalah Mu’adz bin Jabal. Bagaimana aku bisa selamat dan terlepas dari bahaya tersebut?”
Berkatalah Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam, “Memang begitulah, bila ada kelengahan dalam amal ibadahmu. Karena itu, jagalah mulutmu jangan sampai menjelekkan orang lain, terutama kepada sesama ulama. Ingatlah diri sendiri tatkala hendak menjelekkan orang lain, sehingga sadar bahwa dirimu pun penuh aib. Jangan menutupi kekurangan dan kesalahanmu dengan menjelekkan orang lain. Janganlah mengorbitkan dirimu dengan menekan dan menjatuhkan orang lain. Jangan riya dalam beramal, dan jangan mementingkan dunia dengan mengabaikan akhirat. Jangan bersikap kasar di dalam majlis agar orang takut dengan keburukan akhlakmu. Jangan suka mengungkit-ungkit kebaikan, dan jangan menghancurkan pribadi orang lain, kelak engkau akan dirobek-robek dan dihancurkan anjing Jahannam”
Tanyaku selanjutnya, “Ya Rasulallah, siapakah yang bakal menanggung penderitaan seberat itu?”
Jawab Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam, “Mu’adz, yang aku ceritakan tadi akan mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah. Engkau harus mencintai orang lain sebagaimana engkau menyayangi dirimu. Dan bencilah terhadap suatu hal sebagaimana kau benci bila itu menimpa dirimu. Jika demikian engkau akan selamat.”
Sumber: Al Ghazali, Minhajul Abidin, dan Bidayatul Hidayah

Friday, January 15, 2010

Menyikapi hinaan akidah

Baru saja melintasi sebuah web yang mencaci maki keyakinan, lumayan ..membuat darah jadi naik...tapi tiba-tiba tersadar...buat apa...Rasulullah SAW sendiri tidak pernah melayani hinaan dan cacian, yang diperangi oleh Rasulullah adalah kezaliman fisik.

Saat akidah dihina maka sesungguhnya masih ada fanatisme kepada ajaran itu sendiri. Mestinya kita pasrahkan saja kepada yang Sang Penguasa, sebagaimana sikap Rasulullah SAW yang dijuluki orang gila sambil dilempari batu dan membuat Jibril 'emosional' melihat pemandangan seperti itu.

Sekali lagi, agama ini bukan untuk dibela, AJARAN AGAMA INI YANG MEMBELA KITA... jadi buat apa membuat pembelaan terhadap keimanan yang ada dalam hati manusia. Manusia-manusia yang menghina akidah juga menerima penghinaan serupa dari orang-orang yang tidak mempercayai Sang Tunggal sama sekali. Kebalikannya keyakinan penuh kita terhadap janji Allah membuat kita merasa kasihan juga terhadap mereka dihari penghisaban kelak....inilah intinya semuanya hanya ada dalam hati, tidak bisa didebat, dan yakinlah kita akan hari pengadilan kelak siapa benar dan siapa yang salah, siapa yang tertunduk lesu, siapa yang bergembira....apabila anda diajak berdebat dengan seseorang yang langsung menyerang kepada apa yang kita perbuat, jawabannya sungguh sederhana, ....YANG SEMUA ANDA KATAKAN BENAR, TETAPI SAYA TIDAK MEYAKINI HAL YANG DEMIKIAN. KEYAKINAN SAYA KEBALIKAN DARI YANG ANDA KATAKAN. KALAU KEYAKINAN ITU SUDAH ADA DALAM HATI MAKA SIAPAPUN TIDAK DAPAT MERUBAHNYA APAPUN KATA ANDA DAN IBLIS MANAPUN TIDAK AKAN MERUBAH KEYAKINAN SAYA.

Penyerangan terhadap akidah didasarkan pada fanatisme terhadap keyakinan hati. Padahal keyakinan itu adalah modal untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, bukan untuk dibangga2kan. Membalas makian dengan makian tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW. Penyerangan akidah juga terjadi antara sesama kaum muslimin sendiri, penafsiran akal sering dipaksakan kepada orang lain, padahal pegangan yang digunakan sama. Hal ini menunjukkan kelemahan akal, meskipun yang digunakan adalah dalil agama, namun kekotoran hati manusia yang selalu ingin 'dianggap paling benar' membuat manusia terjebak kepada sifat iblis yang selalu merasa lebih dari Adam AS.

Akidah adalah rasa yang ditanamkan, dikembangkan, dan dibina oleh setiap orang yang beriman. Wilayah ini tidak bisa diintervensi dengan akal kita. Sebagaimana seorang pecinta dugem meyakinkan asyiknya dugem kepada seorang ahli ibadah, dan sebaliknya ahli ibadah menceritakan nikmatnya ibadah....sulit nyambung bila menggunakan parameter fisik. Kebahagiaan yang dirasakan oleh penggemar dugem tidak bisa dicapai oleh ahli ibadah dan sebaliknya. Dan lucunya kedua-duanya saling mengasihani. Dari sini kita melihat bahwa keyakinan adalah masalah hati letaknya sangat dalam dan lembut. Meyakini sesuatu yang tidak tampak dan sangat berkuasa adalah hal yang tersulit bagi manusia yang bergerak dengan panca indra.

Hindari berdebat masalah akidah dengan orang yang berniat mencari-cari kelemahan, karena buang waktu dan mengotori hati. Demikian pula hinaan pada Nabi tidak usah disikapi dengan emosional, cukup dengan proporsional dan beradab. Karena hinaan kepada Nabi SAW tidak akan mengurangi kemuliaan beliau. Sebagaimana pengingkaran kepada Allah SWT tidak membuat Allah menjadi kecil. wallahualam