Saturday, September 23, 2017

Saya sholat berdasarkan Quran dan Sunnah memang nampak keren, tapi....?

Jujurlah, hari ini kita tidak lagi menyarikan sendiri Quran dan Sunnah dalam ibadah praktis kita, melainkan kita mengikuti ulama. Sederhana saja, anda katakan bahwa sholat anda berdasarkan Al Quran dan sunnah, maka anda harus mampu menyebutkan dalil mulai dari tabiratul ikram hingga salam tanpa teks, dari Quran dan sunnah sekaligus dengan periwayatnya.....bisa?

Bagaimana nasib para mualaf? Setelah bersyahadat mereka kita beri Quran dan kitab hadits atau sekarang katakanlah kita beri kitab maktabah syamillah? Dan katakan beribadalah kalian sesuai dengan quran dan sunnah ini. Kapan mereka akan beribadah?

Kalo tidak mampu menyebutkan dalil, jangan mengklaim sholat anda berdasarkan Quran dan sunnah. Semua juga paham asal sholat adalah perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw untuk orang beriman. Dan saat seseorang mengatakan saya mengikuti guru saya, bukan berarti si Guru adalah orang yang ngarang gerakan sholat, mereka orang yang kita yakini pemahaman agamanya mumpuni, dan mereka juga mengikuti para guru, imam madzhab, sahabat dan Nabi Muhammad Saw.

Mayoritas umat Islam taqlid pada apa yg dilakukan oleh para ulama mereka, bahkan dari yang bukan ustadz. Mereka tidak punya kemampuan  menggali sendiri Quran dan sunnah. Kapan ibadahnya bila harus menemukan dalil terlebih dahulu. Jadi klaim," menurut guru saya.." adalah lebih jujur, daripada mengatakan berdasarkan dalil, Quran dan Sunnah. Saat anda mengatakan, saya mampu menyebutkan semua dalil perbuatan yang saya lakukan tapi anda tidak mengikuti satupun imam madzhab, anda berarti imam madzhab juga.

Masih ngotot ini teksnya. Perlu diketahui agama ini adalah riwayat dari para ulama bukan teks. Menunjukkan dalil dari teks bukanlah paham ahlussunnah wal jama'ah tapi paham penginjil,orientalis, liberal,otodidak, shahafi.

Sahabat melihat cara beribadah Nabi Saw dan mereka secara visual langsung meniru yang Rasulullah lakukan. Mereka tidak kutak-katik Quran dan Perkataan Nabi Saw, tetapi langsung eksekusi dengan apa yang dilakukan Nabi Saw, demikian seterusnya hingga generasi Tabi'ut Tabi'in. Dimana pada masa ini perbedaan dalam ibadah-ibadah mahdah sudah menggejala, maka mereka menganalisis semua riwayat hadits dan akhirnya menjadi sebuah klasifikasi dan sistematika peribadatan yang akhirnya kita kenal dengan Madzhab. Analisis haditspun tidak dilakukan sembarangan, hadits yang mereka peroleh didapatkan dari para periwayat yang jalurnya sangat dekat. Mereka tidak melakukan analisis  pribadi terhadap teks-teks hadits, namun langsung bertatap muka dengan periwayat. Dan mereka hafal semua riwayat dan hadits yang mereka tulis, dan mereka tidak akan menulis hadits dengan mengutip dari kitab ulama lain melainkan mendatangi ulama yang bersangkutan untuk belajar/menjadi murid. Kitab2 yg ditulis (apalagi terjemahan) tidak bisa dijadikan referensi secara sembarangan untuk berijtihad, apalagi orang tersebut yg termasuk awam. Maka seorang yang berijtihad/atau mengkritik ijtihad ulama lain wajib memiliki derajat yg setara. Orang yang berani berijtihad dengan Al Quran dan Hadits dengan logika sendiri akan rawan sesat dan menyesatkan. Orang ini disebut shohafi atau otodidak. Cara ini sesat dari cara mendapatkan ilmu, yaitu belajar tanpa guru, yg bukan metode belajar Islam, tapi belajar orang kafir abad ini. Atau dikenal dengan metode hermeneutika.

Sedangkan dalam Islam, sunnah belajar adalah tallaqi (bertatap muka/mengulang perkataan guru).  Metode tallaqi ini sungguh merupakan benteng kokoh yang membuat kaum orientalis kelabakan karena tidak mudah diselwengkan. Dan akhirnya melakukan penyusupan dan menggandeng orang yg memegang kekuasaan, maupun kaum muda untuk menyebarkan model belajar secara hermeneutika dan otodidak. Mereka memberikan beasiswa dan gelar di jurusan2 Islam milik mereka. Akhirnya setelah lulus, mereka menempatkan diri mereka sekelas ulama dan berbicara tentang urusan umat dan timbulah kekacauan, kelompok ini biasa disebut liberal.

Adapula kelompok shohafi yg meredefinisi kembali agama Islam dari nol, dari Alquran dan kitab, mereka enggan mengikuti perkataan ulama terdahulu, tapi herannya mereka menggunakan kitab-kitab para ulama ini untuk membuat suatu fatwa/ijtihad sesuai hawa nafsunya. Misalnya mereka menentang madzhab dan amalan para madzahib namun sering mengutip pendapat mereka untuk berdebat. Misalnya mereka sering mengutip pendapat imam Syafii tentang sampai/tidaknya bacaan Quran kepada mayyit, namun mereka mengingkari hukum2 fiqih yang dibawa imam Syafii, bahkan memberi label Syafiiyun. Kemudian kitab berlabel shahihpun masih berusaha dishahihkan, herannya tidak menggunakan nama dia sendiri (karena pasti gak laku) .

Anda tentu bisa membayangkan betapa besarnya kerusakan bila Rasulullah manganalis perkataan Malaikat Jibril As, sahabat menganalisia/mengkritisi perkataan Rasulullah, dst. Alhamdulilah faktanya tidak seperti itu. Rasulullah dan salafussholih , hari ini masih  berpegang teguh kepada periwayatan, bukan pada analisis teks/kitab mandiri/otodidak.

Ini pula yang sampai pada kita hari ini, bahwa sholat kita hari ini bukanlah hasil kutak-katik kita sendiri, melainkan kita lihat dari orang tua kita yang mengikuti orangtuanya yang berdiri di belakang jama'ah kaum muslimin yang diimami seorang ulama yang mengikuti gurunya dan gurunya dan gurunya.....hingga Rasulullah Saw. Hal ini pula yang menjadi kita bisa melakukan amal ibadah tanpa harus mencari dalilnya terlebih dahulu, tinggal ikut, percaya dengan ulama-ulama yang kita ikuti.

Inilah mengapa saya mengatakan bahwa sholat kita khususnya dan ibadah lain pada umumnya didasarkan pada taqlid kepada orang yang kita percaya membawa ajaran yang bersambung kepada Rasulullah Saw. Kalau anda bersikukuh mengatakan berdasarkan dalil, maka anda akan dibungkam sendiri ketidakmampuan anda menyebutkan seluruh dalil tentang sholat dari Al Quran dan hadits. Dan bila anda bersikukuh berdasarkan dalil dan tetap tak mampu menyebutkan dalil2 sholat, mohon ampunlah kepada Allah karena kedustaan dan kesombongan sekaligus.

Orang yang mengatakan bahwa kita harus kembali kepada Al Quran dan Sunnah, adalah perkara yang wajib dan sudah menjadi sutu kaidah umum tidak perlu perdebatan. Karena kita sangat yakin kapasitas dan kompetisi ulama yang kita ikuti. Mereka bukan tipe karakter pendusta yang meninggalkan Al Quran dan Sunnah.

Namun saat Al Quran dan Sunnah dipahami berdasarkan teks yang anda baca sendiri, maka akan membuka pintu kesesatan. Sebagian ulama mengatakan minimal 25 macam ilmu yang harus dikuasai seseorang untuk menafsirkan Al Quran dan menurunkan kaidah hukum dari hadits, seperti: Bahasa Arab yg meliputi: nahwu, shorof, balagoh, ma'ani, fiqih, ushul fiqih, hadits bersanad, dst. Bisa? Jadi jangan terkecoh dengan orang yg mengatakan

 "Lihat dalilnya (sambil menunjukkan terjemahan) dan ini dalil, jangan kata guru, ulama, dst." 

Orang seperti ini patut ditinggalkan karena orang ini mengajak umat meninggalkan ulama pewaris Nabi. Karena orang tersebut sesungguhnya sedang menutupi kemiskinan ilmu dengan teks-teks terjemahan.

Orang seperti ini telah mengambil ilmu secara serampangan.

Perlu diketahui bahwa generasi yang datang belakangan adalah generasi yang telah jauh dari masa Nabi Saw, yang tidak mungkin menyamai generasi Salafus Sholihin yang berjumpa dengan Nabi Saw dan sahabat2 RA.

Quran dan hadits yang sampai pada kita hari ini tidak bisa dipahami secara tekstual semata, karena Al Quran dan hadits diajarkan kepada Nabi Muhammad Saw, kemudian kepada sahabat secara TATAP MUKA dan pengulangan tutur atau lebih populer disebut talaqqi  !!!Bahkan Imam Bukhari lebih ketat dalam periwayatan, suatu hadits turun menjadi dhoif karena perawinya menunjukkan perilaku yang kurang pantas, diriwayatkan ada seorang perawi yang memancing kambing/keledainya dengan makanan utk masuk kandang dan tidak memberi makanan itu saat masuk kandang!


INGATLAH ...bahwa Al Quran dan Sunnah adalah pengajaran audio visual TALAQQI !!
........BUKAN TEKSTUAL..BUKAN TEKSTUAL.....

pengajaran ini pula yang menekankan pula bahwa pentingnya guru yang alim yang membacakan Al Quran dan Hadits dengan sanad yang jelas dan tidak terputus. Dan bisa dikatakan BARANGSIAPA YANG BELAJAR TANPA GURU AKAN TERTOLAK PERKATAANNYA.....

Metode talaqqi merupakan  satu2 metode shahih yang dilakukan nabi Muhammad SAW, dan kemudian disegel dengan sifat Nabi yang Ummiy, dimana celah baca/tulis/analisis teks ditutup rapat dalam pengajaran Al-Quran dan As-Sunnah, metode ini digunakan oleh malaikat Jibril kepada nabi Muhammad SAW ketika wahyu pertama dari Allah SWT turun yaitu QS. Al-Alaq ayat 1. Nabi Muhammad kepada sahabat ra dan seterusnya hingga hari ini masih diteruskan dan dipertahankan oleh ulama2 yg lurus, terutama secara ketat dalam pengajaran Quran. Para penghafal Quran akan mendapat legitimasi setelah mendapatkan sanad dari seorang guru. Tallaqi ini pula diperkuat dengan sifat Ummiy Nabi Saw , yang menutup pintu analisis/otodidak. Pun Rasulullah menutup pintu (mengharamkan) penulisan perkataan beliau (hadits) karena dikhawatirkan bercampur dengan Al Quran. Dan di masa ini banyak orang mengaku2 ulama yang sesungguhnya pemalas2 yang numpang populer ingin disebut alim, bangga dengan Quran terjemahan kumpulan hadits digital, dan membuat madzhab2 baru dengan kaidah yang dipopulerkan Imam Syafi'i "Madzhab kami adalah hadits shohih". Bahkan dengan berani mengatakan ada madzhab imam bukhori, karena imam bukhori lebih menguasai hadits dibanding para madzhahib.??????

Belajar melalui teks baru dikenal abad belakangan mengikut metode barat. dimana sebagian kelompok yang membuka peluang belajar secara mandiri/otodidak  dan tekstual dan berlabel berdasarkan Al Quran dan Sunnah, namun sungguh cara belajar agama seperti ini jelas-jelas menyelisihi belajar model Talaqqi Generasi Salafusholih. Cara-cara belajar dari teks adalah cara-cara Barat yang dikenal sebagai hermeneutika, artinya metode belajar yg didasarkan pada analisis teks, pemakaian logika pribadi, tanpa harus bertemu dengan penulisnya (contoh: jurnal-jurnal penelitian yang selalu menyertakan daftar pustaka). Metode seperti ini sangat menyelisihi Metode Talaqqi sebagaimana yang diajarkan kepada generasi Salafush Sholih. Ini juga penjelasan mengapa kelompok pengusung otodidak dg mudah diterima dikalangan intelektual,  jelas karena metode belajarnya agama yang sama dg metode barat, Riset Literatur! 

Ingat Riset Literatur tanpa guru adalah cara yang sangat buruk dalam belajar agama dan tidak mengikuti Sunnah apalagi Salafus Sholih! Dan mentalitasnyapun hampir sama. Mereka mengklaim Kami sudah memiliki kumpulan semua kitab hadits bernama Maktabah Syamilah, ngapain harus menghafalkan hadits? Hanya membuang-buang waktu saja. Inilah hal yg paling aneh dilakukan oleh kelompok yg mengatakan semua bentuk ibadah yg tidak mengikuti Nabi adalah bid'ah, namun kalo utk urusan Digitalisasi hadits boleh bid'ah (otodidak) dan boleh meninggalkan sunnah tatap muka (talaqqi).

Ini pula yang menimbulkan friksi pada hari ini, karena pemahaman Al Quran dan Hadits yang dilakukan melalui TELA'AH LITERATUR/Literature Research, Metode hermeneutika inipun secara serta merta bisa membawa seseorang awam  yang menguasai literasi arab pas-pasan utk membuka Maktabah Syamilah dan melakukan ijjtihad pribadi atas mana kelompok untuk memberi label pada kelompok yg berseberangan. Dan metode ini sangat  berseberangan dengan sifat-sifat Ahlul Sunnah wal Jama'ah. Oleh karena itu, kelompok ini tidak diakui lagi sebagai Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam Muktamar Aswaja di Checnya, Kamis 21 Dzulqa’dah 1437 H /25 Agustus 2016.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini:
“Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dhoif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)

Al-Hafidz adz- Dzahabi berkata “al-Walid mengutip perkataan al-Auza’i:
“Ilmu ini adalah sesuatu yang mulia, yang saling dipelajari oleh para ulama. Ketika ilmu ini ditulis dalam kitab, maka akan dimasuki oleh orang yang bukan ahlinya.” 

Riwayat ini juga dikutip oleh Ibnu Mubarak dari al-Auza’i. Tidak diragukan lagi bahwa mencari ilmu melalui kitab akan terjadi kesalahan, apalagi pada masa itu belum ada tanda baca titik dan harakat. Maka kalimat-kalimat menjadi rancu beserta maknanya. Dan hal ini tidak akan terjadi jika mempelajari ilmu dari para guru”

Banyak tokoh hermeunetika ini, mengeluarkan ijtihad-ijtihad berlabel memurnikan Al Quran dan Sunnah, berdasarkan pemahaman pribadi yang diambil dari literatur-literatur dengan label yang akan menggoda setiap orang,"Memurnikan Ajaran Islam", memurnikan tauhid, kembali kepada Al Quran dan Sunnah. Akhirnya kita perhatikan dalam keseharian, metode mereka ini menimbulkan kekacauan dan kerancuan, bahkann hingga pembunuhan, karena banyak orang yang baru belajar dan tidak memiliki kapasitas, mengeluarkan ijtihad2 prematur.

Hal ini jelas berseberangan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Aswaja), dimana kaidah dasar kalangan Aswaja yang menghindari labeling. Menghindari perkataan-perkataan buruk kepada ahli syhadat dan ahli qiblat. Dimana para Ulama Ahlus Sunnah mengambil ilmu dari para gurunya, baik itu Al Quran, Tafsir Quran, Hadits, mereka dapatkan dari gurunya. Jadi ulama ahlus sunnah TIDAK MENGGUNAKAN TEKS DAN PEMAHAMAN PRIBADI UNTUK BERIJTIHAD, tapi mengambil dari guru-guru mereka, dan ini pula yang dilakukan oleh para Sahabat-sahabat Nabi RA. Alhamdulillah metode ini masih jelas dalam pengajaran Al Quran, dimana para penghafal harus menyetor setoran secara tatap muka kepada para gurunya, sehngga mereka berhak mendapatkan sanad.

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Al-Hijr. 9)

Metode pengambilan dalil dengan hermeneutika secara nyata telah menimbulkan perpecahan, pelabelan, pengkafiran, peperangan hingga pembunuhan. Mereka hanya mengenal kelompok kami dan kelompok diluar kami. Sebelum kelompok ini melakukan pembunuhan, mereka terlebih dahulu melabeli dengan label sesat, syirik, hingga akhirnya mengkafirkan. Setelah mengkafirkan mereka melakukan pembunuhan. Silahkan baca-baca ideologi ISIS.

AGAMA INI BERDASARKAN RIWAYAT BUKAN LOGIKA, DAN RIWAYAT DISAMPAIKAN OLEH ORANG YANG MENERIMANYA HINGGA NABI MUHAMMAD SAW

Wallahua'lam Bishowab.




No comments:

Post a Comment