Tasawuf kami....(2)
Tasawuf kami adalah pengistirahatan akal setelah menemukan Islam. Biarkan Allah yang mengaliri akal kita dengan cahayaNya. Aliran yang Insya Allah terbebas dari hawa nafsu dan syahwat dunia. Karena kami sadar bahwa akal kami memiliki jangkauan terbatas yang bahkan imajinasi kamipun tidak dapat melampau bintang terjauh yang dapat disaksikan teleskop, maupun benda terkecil yang dapat dilihat oleh mikroskop. Sebagai manusia kami sadar bahwa akal kita dibatasi oleh lingkungan tempat kami tinggal dan tumbuh.
Al Quran dan hadits bagi kami adalah jalan/koridor/jembatan penuntun kepada Allah, bukan tembok penjara melingkar yang menghalangi kita menuju kepadaNya.
Ayat-ayat Quran bagi kami bukan kumpulan pembatas langkah namun sebagai kapal penuntun dalam mengarungi kehidupan di dunia.
Kami berusaha meneguhkan apa yang dilakukan oleh Nabi, tapi kami juga mencoba menyelami saat Nabi SAW berada dalam sholatnya yang berjam2. Karena tidak ada satupun dalil menjelaskan apa yang dibaca oleh Nabi dan bagaimana kondisi kalbu Nabi dalam rentang waktu yang cukup lama tersebut.
Ibadah kami bukan sekedar gerak tubuh, gerak lisan, gerak akal, namun juga gerak hati dan gerak kalbu. Kelalaian kalbu berarti penghianatan sejati kepada Allah sebagaimana Allah tegaskan
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (QS. 107:4)
5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. (QS. 107:5)
Dan bukankah ibadah dinilai dari niat? dan niat letaknya di dalam hati? Inilah titik yang kita selami niat, hati, qalbu, batin, suara hati, nurani, apapun dia namanya pada tempat inilah kita mencoba menyelami dan mengenal Rabb kami, dan terus membersihkannya agar cahayaNya tidak redup.
Saat dihadapkan pada uswah kita Muhammad SAW, kita dihadapkan kedhaifan dalam segala hal, kami sudah pasti tidak akan pernah dan bisa menyempurnakan ibadah kami mendekati Nabi kami, meskipun kami selalu berusaha, satu ibadah kita tegakkan dan sempurnakan ribuan ibadah lain terabaikan terus menerus berulang. Yang paling mengerikan adalah setan selalu mengatakan ..engkau sungguh mulia dibanding si A, si B, si C, lihat pakaianmu, lihat amalanmu, lihat tahajudmu, lihat bahasa arabmu, lihat hafalanmu, lihat semuanya menyebabkan engkau mulia disisi Allah dibanding yang lain. Perasaan berikutnya menyebabkan ibadah kami selalu mengedepankan kepada menjaga wibawa dan citra dimata manusia yang jelas-jelas merupakan syirik kecil.
Akhirnya hal itu membuat suatu kesadaran, kenapa tidak kita serahkan saja kepada Allah, beristighfarlah engkau kepada Allah, karena insya Allah ibadahmu akan selalu jauh dari sempurna, semakin keras engkau berusaha menyempurnakan ibadahmu semakin besar pula rasa ujubmu. Biarkan kepasrahan itu menghasilkan ibadah, biarkan sujud itu timbul dari kepasrahanmu sebagai hamba yang berlumur dosa, lalai dan bergelimang maksiat. Meski engkau merasa tidak pernah melihat kemaksiatan itu dari sisimu, niscaya engkau bukan makhluk yang sempurna. Biarkan zikir itu adalah pujian yang jujur dari apa yang engkau rasakan lebih dari sekedar syariat yang diajarkan. Biarkan sedekahmu keluar dari perasaan itu sekedar titipan dan lebih baik diberikan.
Tasawuf kami adalah serahkan, pasrahkan, dan biarkan Allah yang membimbing. Saat kami lalai dalam kebaikan, maka ibadah kami adalah tobat dan istighfar, saat kami gembira maka ibadah kami adalah sujud syukur, takbir dan hamdallah, saat kami didekati oleh Allah maka semua zikir kami tumpahkan bersama air mata, dan penyerahan.
Tasawuf kami adalah meletakkan akal, nafsu, syahwat, keinginan, ketakutan, kegelisahan, kekhawatiran dibelakang penyerahan total kepada ilahi Rabbi. Wallahualam